SODACAN – Di era digital saat ini, media sosial tidak lagi sekadar tempat berbagi momen pribadi. Ia telah berevolusi menjadi ruang diskusi publik yang cair, dinamis, dan terus berkembang. Salah satu bentuk ruang publik yang mencuat dari platform media sosial X (dulu Twitter) adalah akun autobase, akun yang memungkinkan siapa pun untuk mengirimkan cuitan secara anonim melalui sistem direct message, kemudian dipublikasikan oleh akun tersebut secara otomatis.
Autobase tidak hanya menjadi tempat berbagi cerita, tetapi juga mencerminkan keresahan, opini, pengalaman, bahkan solidaritas sosial dari warganet. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia tengah menciptakan bentuk baru dari ruang publik, ruang diskusi virtual yang tidak dibatasi oleh identitas, status sosial, atau lokasi geografis.
Autobase Sebagai Wadah Ekspresi Anonim
Salah satu kekuatan utama autobase adalah anonimitas. Akun seperti @tanyakanrl memungkinkan penggunanya bertanya atau mengemukakan pendapat tanpa takut dihakimi. Lewat format tanya-jawab, muncul diskusi tentang hubungan, kesehatan mental, hingga isu-isu sosial yang sulit dibicarakan di ruang terbuka.
Sementara itu, akun seperti @convomfs menyajikan potongan percakapan lucu, aneh, atau absurd dari pesan pribadi. Meski tampak ringan, akun ini memperlihatkan keragaman komunikasi masyarakat digital Indonesia dan bagaimana humor digunakan sebagai alat coping maupun kritik sosial yang terselubung.
Akun @ohmybeautybank mengkhususkan diri pada isu kecantikan dan perawatan diri. Lewat autobase ini, banyak perempuan dan juga laki-laki berbagi pengalaman tentang produk skincare, beauty hacks, bahkan cerita seputar standar kecantikan yang menekan. Ini menjadi ruang aman (safe space) untuk berbicara tanpa khawatir terhadap stigma.
Kemudian ada @collegemenfess, yang menampung curhatan mahasiswa dari seluruh Indonesia. Di sinilah masalah kampus, keresahan akademik, hingga dinamika percintaan mahasiswa tumpah ruah. Ruang ini bukan hanya tempat bercerita, tapi juga menjadi alat solidaritas antar mahasiswa lintas kampus.
Baca Juga: Bukti Cancel Culture Masih Ada, KISS OF LIFE Diboikot dari KCON LA 2025

“Menfess di autobase tuh relate banget sama kehidupan sehari-hari, entah itu soal kuliah, skincare, sampai masalah relationship. Kayak baca jurnal kolektif dari orang-orang yang kita nggak kenal, tapi somehow kita paham perasaannya,” ujar Muhammad Aji (22), seorang pengguna aktif autobase.
Ruang Publik Gaya Baru
Secara teori, konsep “ruang publik” merujuk pada tempat di mana individu dapat bertemu untuk mendiskusikan isu-isu bersama secara rasional dan terbuka. Autobase, dalam hal ini, menghadirkan versi digital dari gagasan itu. Masyarakat tak perlu hadir secara fisik, namun tetap bisa saling berbagi, mendengarkan, bahkan memperdebatkan opini.
Angelita Kusuma Wardani S. (18), mahasiswi yang kerap membaca dan merespons menfess, mengatakan, “Aku pernah ngebalas menfess tentang insecure sama kulit sendiri, terus ternyata banyak yang like dan kasih semangat juga. Bahkan ada yang nge-reply dengan tips dan pengalaman mereka sendiri. Itu bikin aku terharu sih, kayak strangers bisa saling support tanpa tahu siapa kita.”
Bagi sebagian orang, autobase juga jadi sarana pelarian di tengah rutinitas. “Sebagai pekerja kantoran yang sehari-harinya ketemu deadline dan tekanan kerja, autobase itu semacam pelarian kecil tapi efektif,” ungkap Sandhira (26), yang aktif mengikuti akun-akun hiburan seperti @convomfs. “Cuma baca satu thread aja udah cukup buat bikin aku ketawa dan recharge energi.”
Tak bisa dipungkiri, keberadaan autobase telah menjadi bagian dari kultur digital yang sangat pop. Banyak menfess yang viral kemudian berubah jadi meme, inspirasi konten TikTok, bahkan bahan obrolan sehari-hari. Autobase menjadi semacam layar proyeksi tempat publik mengekspresikan keresahan sosial, romansa remaja, sampai jokes receh yang hidup dan menyebar dengan cepat di berbagai platform. Dalam banyak hal, autobase kini berperan seperti sitkom interaktif digital, di mana penontonnya ikut terlibat langsung dalam alur ceritanya.
Dampak Sosial dan Potensi Risiko
Namun, tak dapat dimungkiri bahwa keberadaan autobase juga memunculkan risiko. Karena bersifat anonim dan minim moderasi ketat, beberapa autobase bisa menjadi ruang yang rentan terhadap penyebaran hoaks, ujaran kebencian, hingga doxing. Oleh karena itu, peran admin sebagai kurator dan moderator menjadi sangat penting.
Baca Juga: Jadi Dunia Fiksi, Inilah Wadah Utama menulis Alternative Universe!
“Anonimitas itu kayak pisau bermata dua dan bisa bikin orang lebih jujur, tapi bisa juga dipakai buat nyebar kebencian,” kata Aji. Ia menekankan pentingnya kesadaran digital agar ruang seperti autobase tetap sehat. Angelita menambahkan, “Autobase itu penting banget karena nggak semua orang punya keberanian buat ngomong terbuka pakai identitas asli.” Sementara itu, menurut Sandhira, “Autobase itu kayak mini escape room dari penatnya hidup orang dewasa. Tapi ya, tetap perlu disaring karena kadang bisa jadi toxic juga.”
Masa Depan Autobase sebagai Ruang Publik
Fenomena autobase adalah representasi bagaimana teknologi memungkinkan masyarakat membentuk komunitas-komunitas baru secara organik. Selama ruang ini dikelola dengan etika digital yang baik, autobase bisa terus menjadi wadah penting untuk berbicara, mendengar, dan memahami satu sama lain.
Di tengah keterbatasan ruang diskusi yang aman dan inklusif di dunia nyata, akun-akun autobase membuktikan bahwa internet—meski tak sempurna—masih bisa menjadi ruang publik virtual yang memberdayakan. Dan lewat humor, keresahan, maupun kejujuran yang mengalir dari balik anonimitas, autobase telah menjelma menjadi salah satu penanda budaya populer digital masa kini.