Menelusuri ‘Korean Authenticity’ di Balik Produk ‘Ala Korea’ di Indonesia

SODACAN – “Lho, sejak kapan Jeju terkenal dengan mawar?” komentar seorang warga Korea saat melihat shampo dengan label “Jeju Rose” di Indonesia. Produk-produk dengan embel-embel Korea kini mudah ditemukan di Indonesia seiring dengan berkembangnya Korean wave di Indonesia. Namun, di balik kemasan dengan hangeul (aksara Korea) dan nama-nama seperti “Korean Strawberry” atau “Jeju Rose”, benarkah nuansa Korea itu terasa otentik?

 

Popularitas Korean wave atau Hallyu kini tak lagi sebatas ranah hiburan saja bagi orang Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, pengaruhnya mulai terlihat melalui gaya berpakaian, selera musik, hingga pilihan konsumsi harian. Di tengah antusiasme terhadap budaya Korea ini, banyak produk lokal yang mulai memanfaatkan label atau unsur Korea sebagai bagian dari strategi pemasaran mereka. 

 

Produk Lokal vs Ala Korea

Di rak-rak supermarket dan minimarket, produk-produk dengan embel-embel Korea semakin mudah dijumpai. Seperti contoh, mi instan dengan label “한국 라면” (Hanguk Ramyeon) artinya Mi Instan Korea, yang berkolaborasi dengan salah satu grup Kpop, sabun cuci piring dengan varian rasa “Korean Strawberry”, hingga shampo dengan aroma “Jeju Rose”. Tak jarang pula dijumpai kemasan yang menampilkan hangeul yang seolah memberikan kesan bahwa produk tersebut dari Negeri Ginseng.

 

Mi instan ala Korea dengan label “한국 라면” yang menggaet salah satu idol Kpop sebagai Brand Ambassadornya. (Source: Google)

Penggunaan unsur-unsur Korea dalam produk-produk tersebut tentunya berasal dari popularitas drama Korea, variety show, dan idol Kpop di Indonesia. Mereka telah membentuk persepsi bahwa apapun yang berbau Korea identik dengan kualitas yang baik dan gaya hidup modern. Bagi sebagian pecinta Hallyu, melihat hangeul atau kata-kata seperti “Jeju” dan “Seoul” saja sudah cukup membangkitkan rasa penasaran. Bagi pasar Indonesia, sentuhan Korea seolah menjadi nilai tambahan. 

 

Perspektif Orang Korea tentang ‘Ala Korea’

Bagi Mr. Kim, warga negara Korea Selatan yang telah tinggal di Indonesia selama 15 tahun, maraknya produk-produk berlabel Korea di Indonesia menimbulkan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi, ia senang dan bangga melihat budaya negaranya dikenal luas. Namun di sisi lain, ia juga khawatir terhadap penggunaan identitas Korea yang terasa “kurang otentik”.

 

Salah satu produk yang menarik perhatiannya adalah mi instan dengan label “한국 라면” (Hanguk Ramyeon), hasil kolaborasi dengan grup Kpop. “Saya pernah coba. Tapi rasanya terlalu pedas Indonesia sekali bukan pedas Korea. Rasanya juga cuma pedas saja, tidak ada rasa lain,” komentarnya. Menurutnya, mi tersebut sempat dibahas di kalangan teman-temannya yang juga orang Korea tinggal di Indonesia, karena rasa pedasnya yang menusuk tanpa rasa khas ramyeon Korea.

 

Baca Juga: Melestarikan Warisan Budaya Keraton Yogyakarta secara autentik dengan Abdi Dalem Experience

 

Produk susu Korea dengan berbagai rasa, rasa pisang adalah rasa yang paling terkenal hingga di Indonesia. (Source: ssg.com)

Ia juga sempat tertarik membeli minuman banana uyu (susu pisang khas Korea), namun mengurungkan niatnya setelah melihat harganya yang jauh lebih mahal dibanding harga asli di Korea. Selain itu, produk impor seperti Shin Ramyeon, juga ia nilai rasanya berbeda dengan yang dijual di Korea. “Kata hampir semua orang Korea di sini, rasanya kurang enak. Beda dengan yang ada di Korea.”

 

Tak berhenti di situ, Mr. Kim juga mengomentari beberapa produk lokal yang menggunakan nama atau unsur Korea secara kurang akurat. Misalnya, sampo dengan label “Jeju Rose” membuatnya heran. “Sejak kapan Jeju terkenal dengan mawar? Bunga khas dari Jeju itu bunga rapeseed, bukan mawar,” ujarnya. Ia juga mengacu pada drama Korea, When Life Gives You Tangerine yang menggunakan Jeju sebagai latar belakangnya. “Kalau bunga mawar itu terkenalnya di Everland, Yongin,” tambahnya.

 

Ia juga menunjukkan ketidakakuratan dalam penggunaan bahasa Korea pada salah satu produk sabun. Sabun mandi yang menawarkan mencerahkan kulit dengan menggunakan tulisan “자연 흰색” (jayeon huinsaek, ‘putih alami’), yang menurutnya terdengar janggal. “Orang Korea jarang menyebut produk sabun dengan kata ‘흰색’ (putih). Biasanya cukup pakai kata ‘white’. Jadi kalau lihat ini, orang Korea pasti langsung tahu kalau ini bukan produk Korea.”

 

Kebanggan serta Kekhawatiran

Sebagai warga Korea yang telah lama tinggal di Indonesia, Mr. Kim mengaku senang melihat budaya Korea kini begitu digemari. Ia merasa bangga setiap kali melihat hangeul di berbagai produk. “Dulu waktu pertama kali datang ke sini, hampir tidak ada produk Korea, kecuali restoran Korea. Tapi sekarang makin banyak,” jelasnya. Menurutnya, popularitas Korea di Indonesia merupakan hal yang positif dan muncul sebagai bagian dari gelombang Hallyu.

 

Namun, di balik rasa bangga itu, ada juga kekhawatiran yang muncul. “Kalau produknya bagus, saya ikut senang dan bangga. Tapi kalau produknya kurang bagus, saya khawatir,” ujarnya. Kekhawatiran itu muncul karena tidak semua produk yang memakai label Korea benar-benar merepresentasikan kualitas Korea.

 

Ia memberi contoh produk lokal yang melabeli dirinya sebagai susu pisang ala Korea. Produk dengan label banana uyu ala Korea itu ternyata tidak memiliki rasa yang sama dengan yang dijual di Korea. “Kalau orang asing coba itu di Indonesia dan rasanya tidak enak, mereka bisa saja pikir, ‘Oh, produk Korea ternyata begini ya’, padahal itu bukan produk asli dari Korea,” jelasnya.

 

Baca Juga: From Korea to Surabaya, ARTBEAT Siap Guncang Panggung Korean Fest Vol.4

 

Strategi Bisnis dan Tanggung Jawab Budaya

Bagi Mr. Kim, kekeliruan persepsi semacam ini bisa berdampak buruk, karena masyarakat bisa menyamaratakan bahwa semua produk Korea rasanya tidak enak atau kualitasnya rendah. Kekhawatiran itu tidak hanya berlaku untuk makanan, tetapi juga produk lain seperti sampo, sabun, atau kosmetik. Karena itu, ia berharap jika nama Korea dipakai, maka produknya diharapkan memiliki kualitas sepadan. “Harapannya, kalau pakai nama Korea, produknya juga dibuat bagus,” tambahnya.

 

Popularitas Korea di Indonesia telah menjadi jembatan budaya yang luar biasa. Dari musik hingga makanan, dari drama hingga gaya hidup, selama diiringi dengan tanggung jawab dalam membawa citra yang positif. Menggunakan label Korea dalam produk lokal bukan hal yang salah, asalkan dilakukan dengan jujur dan penuh tanggung jawab. 

 

Seperti harapan Mr. Kim, “Kalau pakai nama Korea, produknya juga dibuat bagus.” Di balik rasa bangganya melihat budaya Korea dikenal luas, tersimpan kekhawatiran akan persepsi keliru jika produk yang mengusung nama Korea ternyata tidak mencerminkan kualitas yang sepadan. Pada akhirnya, tren Korea bukan sekadar soal mengikuti pasar, tetapi juga tentang menghargai asal-usul dan menjaga kualitas.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top