Bersuara Lewat Musik dan Meme, Ketika Ekspresi Populer Menjadi Sikap

SODACAN – Di tengah cepatnya arus informasi digital dan derasnya pertukaran wacana sosial-politik, musik dan meme tak lagi sekadar bentuk hiburan. Mereka telah menjelma menjadi alat komunikasi sosial yang efektif dan sering kali tajam, menyuarakan keresahan kolektif, kritik terhadap kekuasaan, hingga solidaritas atas ketidakadilan.

 

Fenomena ini terlihat jelas dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia dan dunia. Budaya populer kini lebih dari sekadar tontonan namun ia menjadi ruang perlawanan yang tak bisa diabaikan.

 

Musik: Dari Lirik ke Sikap

Musik telah lama menjadi ruang ekspresi sosial. Namun di era media sosial, kekuatan musik sebagai alat kritik sosial menemukan momentumnya kembali. Kita bisa melihat bagaimana lagu “Tarian Penghancur Raya” dari .Feast menjadi simbol protes terhadap perusakan alam. Lagu ini viral bersamaan dengan meningkatnya perhatian publik terhadap isu kebakaran hutan di Kalimantan dan Papua.

 

Begitu pula dengan lagu “Rumah ke Rumah” dari Hindia, yang liriknya menyuarakan keresahan akan generasi muda yang lelah dengan tekanan sosial, ketimpangan ekonomi, dan harapan-harapan kosong. Lagu ini menjadi semacam “lagu tema tidak resmi” bagi banyak pengguna TikTok dan Instagram yang membagikannya di tengah pandemi, menambahkan narasi visual tentang kehidupan yang terhenti dan kehilangan makna.

 

Lebih jauh ke belakang, lagu “Bento” dan “Bongkar” dari Iwan Fals tetap menjadi anthem klasik demonstrasi hingga saat ini. Setiap kali mahasiswa turun ke jalan, hampir pasti lagu-lagu ini dikumandangkan. Ini membuktikan bahwa musik bukan hanya hiburan, tapi juga simbol perlawanan.

 

Baca Juga: Menelisik Alasan Mengapa “Ngopi” jadi Urgensi Kalangan Anak Muda

 

Meme: Ketika Lelucon Menjadi Kritik

Meme saat RUU cipta kerja disahkan. (Source: x.com/negativisme)

Meme internet kini tak kalah tajam dari editorial politik. Ia menawarkan cara cepat dan ringan untuk menyampaikan kritik yang mendalam. Misalnya, pada tahun 2020, ketika RUU Cipta Kerja disahkan dengan kontroversi tinggi, media sosial dipenuhi meme seperti foto SpongeBob dengan tulisan “RUU Cipta Kerja disahkan malam-malam, seperti maling”. Kalimat ini langsung menyebar luas dan menjadi bentuk protes digital yang viral.

 

Pada masa pandemi, meme-meme yang menyindir lambatnya respons pemerintah, seperti gambar karakter kartun tidur dengan tulisan “Pemerintah saat rakyat butuh oksigen” mendapat jutaan interaksi. Meskipun dalam bentuk humor, isi pesan yang disampaikan sangat serius: ketidakpuasan terhadap penanganan krisis.

 

Tak hanya soal politik, meme juga digunakan untuk mengkritik isu sosial seperti misogini, diskriminasi, dan ketidakadilan ekonomi. Meme dengan gambar tokoh populer seperti Patrick Star atau karakter anime sering dimodifikasi untuk menyampaikan pandangan tentang privilege, harga kebutuhan pokok yang naik, atau eksploitasi buruh. Format yang lucu membuatnya mudah disebarkan, namun substansinya tetap menyentuh akar masalah.

 

Budaya Pop sebagai Alat Politik Baru

Ekspresi melalui musik dan meme menunjukkan bahwa masyarakat kini menggunakan budaya pop sebagai alat politik alternatif. Bukan politik dalam pengertian partai atau pemilu, tapi sebagai bentuk partisipasi dalam wacana publik. Ini sangat relevan di era ketika ruang demokrasi formal terasa makin terbatas dan opini publik diabaikan.

 

Tayangan konser Coldplay di Jakarta, misalnya, bukan hanya soal musik. Saat layar besar menampilkan pesan tentang krisis iklim dan hak asasi manusia, penonton bersorak dan merekamnya untuk disebarkan di media sosial. Ini menunjukkan bagaimana panggung hiburan bisa menjadi ruang kampanye yang efektif.

 

Ekspresi yang Berisiko

Namun, bentuk ekspresi ini tak selalu aman. Beberapa pembuat meme pernah menghadapi ancaman hukum karena dianggap menyebarkan “hoaks” atau mencemarkan nama baik. Di sisi lain, musisi yang vokal terhadap isu sosial bisa kehilangan dukungan sponsor atau ruang tampil. Ini menunjukkan bahwa meskipun terlihat ringan, ekspresi budaya populer tetap berisiko karena pada intinya ia menantang status quo.

 

Baca Juga: Kenapa sih Gen Z Gampang Relate Sama Musik?

 

Dari Ekspresi ke Aksi

Yang menarik, ekspresi semacam ini tidak berhenti di dunia maya. Gerakan digital seperti #ReformasiDikorupsi pada tahun 2019 dan #IndonesiaButuhIbu pada tahun 2023 awalnya menyebar lewat meme, lagu, dan video singkat, tapi kemudian memicu unjuk rasa dan penggalangan dana secara nyata. Ini membuktikan bahwa ekspresi populer bisa menjadi titik awal gerakan sosial yang lebih luas.

 

Menyatukan Suara Lewat Kreativitas

Musik dan meme telah menjadi kanal bagi mereka yang ingin bersuara tapi tak punya podium. Mereka menyampaikan pesan dengan bahasa yang akrab, emosional, dan mudah diakses. Di balik lirik yang menyayat atau lelucon dalam meme, tersimpan pesan politik yang tak bisa diabaikan.

 

Dalam dunia yang penuh kebisingan dan manipulasi, terkadang kebenaran justru lebih mudah dikenali lewat nada dan tawa. Dan di tangan anak muda digital hari ini, kreativitas bisa menjadi bentuk perlawanan paling kuat.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top